Denpasar , Bali Kini - Dalam sidang dengan agenda putusan sela di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Kamis (20/6), Majelis Hakim telah menolak eksepsi (keberatan) yang diajukan Tim Penasihat Hukum (PH) dari terdakwa Ketut Riana, mantan Bendesa Adat Berawa.
Dengan demikian, terdakwa yang terjerat kasus dugaan pemerasan atau pungutan liar dalam perizinan investasi dipastikan terus berlanjut. Majelis Hakim yang diketuai Gede Putra Astawa dalam putusan tersebut menjelaskan bahwa telah membaca dan meneliti alasan-alasan keberatan PH terdakwa.
Keberatan tersebut dapat digolongkan pertama, PH menyebut proses di awal cacat hukum dan pengadilan tidak berwenang. Kedua surat dakwaan tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap.
Ketiga, mengenai materi dakwaan berbeda dengan perbuatan yang disangkakan saat operasi tangkap tangan (OTT). Sehingga, Majelis Hakim menyampaikan beberapa pertimbangan.
Mengenai keberatan soal proses di awal cacat hukum dan pengadilan tidak berwenang, disebutkan bahwa dalam perkara ini terdakwa telah didakwa dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 huruf E jo pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor, jo Pasal 61 ayat 1 KUHP.
Kemudian, kewenangan mengadili oleh Pengadilan Tipikor, telah diatur dalam ketentuan Pasal 6 UU RI No 5 tahun 2009 tentang pengadilan Tipikor. "Dalam ketentuan tersebut disebutkan Pengadilan Tipikor berwenang mengadili dan memutus perkara, A Tipikor, B TPPU yang tindak pidana asalnya adalah Tipikor, C tindak pidana yang secara tegas di dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana," ujar Astawa.
Menimbang surat dakwaan, Majelis hakim berpendapat bahwa perkara terdakwa didakwa dalam ketentuan Pasal UU Tipikor, maka pengadilan Tipikor Denpasar berwenang memeriksa dan mengadili perkara.
Terkait dalil keberatan PH berkaitan status terdakwa bukan PNS dan penyelenggara negara, Majelis Hakim berpendapat keberatan yang dimaksud tersebut sudah masuk ke dalam salah satu unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf E UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.
Oleh karena itu, persoalan tersebut akan dikunci dalam tahap pembuktian. Dengan kata lain, keberatan PH sudah masuk dalam materi pokok perkara. "Berdasarkan dengan pertimbangan tersebut, maka keberatan PH terdakwa tentang pengadilan tidak berwenang, disebut hakim tidak beralasan hukum. Sehingga, keberatan tidak diterima," sebut hakim.
Kemudian mengenai keberatan terhadap surat dakwaan tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap, Majelis Hakim menjelaskan menimang pihaknya sudah membaca secara teliti, secara formil surat dakwaan tersebut sudah mencantumkan identitas terdakwa secara lengkap mulai dari nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin.
Serta menguraikan perbuatan yang didakwakan, dan sebagainya. "Maka majelis hakim berpendapat, surat dakwaan sudah disusun sesuai dengan ketentuan KUHAP," tambahnya.
Oleh karena itu, eksespsi mengenai hal ini tidak dapat dipenuhi. Ketiga, menimang bahwa batasan ruang lingkup keberatan sudah diatur dalam Pasal 156 ayat 1 KUHAP, yang menyebutkan dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan, bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak diterima, maka diberi kesempatan menyampaikan pendapatnya.
Menimbang dalil PH yang menyebutkan berkaitan materi dakwaan berbeda dengan perbuatan yang disangkakan dalam OTT, majelis hakim berpendapat materi keberatan penasihat hukum tidak masuk dalam ketentuan Pasal 156 KUHAP, atau diluar ruang lingkup keberatan.
"Menimbang berdasarkan uraian tersebut, majelis hakim berpendapat seluruh keberatan dari PH terdakwa tidak beralasan secara hukum untuk menyatakan dakwaan tidak dapat diterima," tegas Astawa dalam persidangan.
Berdasar penjelasan tersebut, Majelis Hakim mengadili, pertama menyatakan keberatan PH terdakwa tidak diterima. Kedua memerintahkan Penuntut Umum melanjutkan pemeriksaan perkara atas Ketut Riana atau sidang dilanjutkan.
Ketiga, maka tuntutan mengenai biaya perkara ditangguhkan. Agenda sidang selanjutnya yaitu pemeriksaan saksi-saksi dari JPU pada Kamis (27/6).
Sementara itu, PH terdakwa I Made Kariada menanggapi mengenai ditolaknya eksepsi. Pihaknya tetap akan berusaha memberikan pembuktian mengenai perluasan jabatan bendesa adat menjadi pegawai negeri itu, karena hal itu dinyatakan sudah masuk ke pokok perkara. Karena Hakim berpendapat Pasal yang disangkakan adalah Pasal 12 e UU Tipikor, maka Pengadilan Tipikor berwenang.
Pihaknya pun mempersiapkan segala sesuatu tentang kontruksi pokok perkaranya. "Jadi kami akan perkuat di pokok perkara karena ini menyangkut kontruksi hukum baru, apakah bendesa adat waktu pelaksanaan sesuatu yang tidak menyangkut tentang keuangan negara, menyangkut tentang upah atau gaji dan sebagainya apakah masuk dalam ranah tipikor atau tidak nanti kami buktikan," tuturnya.
Ia pun kembali menyinggung mengenai konstruksi kasus dibangun dari awal OTT pada prinsipnya adalah pemerasan jual beli lahan. Namun, mengapa kontruksi pasal menjadi berubah saat dakwaan? "Masak orang ditangkap dugaan (pemerasan) jual beli lahan, terus dakwaan berubah menjadi masalah perizinan. Ini kan sudah gak nyambung," tutupnya. [rl]
FOLLOW THE BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram