Denpasar, Bali Kini - Kasus yang menjerat mantan Bendesa Berawa, I Ketut Riana jalani persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan terkait kasus tangkap tangan. Sebelumnya pihaknya mengajukan gugatan praperadilan namun sidangnya ditunda.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor PN Denpasar di Renon, Kamis (30/05). Terdakwa 54 tahun itu didudukkan untuk mendengarkan pembacaan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Nengah Astawa dihadapan majelis hakim yang diketuai Gede Putra Astawa.
Dalam dakwaan kasus pemerasan yang dilakukan Bendesa Riana dijabarkan fi tahap awal bagaimana kronologi dugaan pemerasan yang dilakukannya. Bahkan beberapa chet terdakwa dijadikan bukti dalam persidangan.
Tertulis terdakwa meminta uang kepada perwakilan dari perusahaan yang bakal membangun proyek di wilayah Brawa Badung ini. Sesaat sebelum penangkapan, I Ketut Riana mengirimkan nomer rekening pribadi kepada perwakilan perusahaan.
Tertulis dalam chet agar nantinya uang Rp10 miliar yang diminta untuk dikirim ke rekening pribadi terdakwa. "Terdakwa terus mendesak maka pada tanggal 1 Mei 2024, perwakilan perusahaan saksi Andianto Nahak T Moruk menghubungi terdakwa via pesan whatsapp dan hanya menanyakan kabar," tulis dalam dakwaan.
Selanjutnya oleh terdakwa dijawab chet tersebut. “Kabar saya galau, kepikiran kapan ya cair yang 10 M dan the Magnum supaya segera kita semua tenang,” demikian bunyi chat tersebut seperti yang tertulis dari dakwaan.
Kemudian saksi perwakilan dari perusahaan Andianto Nahak T Moruk menjawab. "Saya ada seratus juta, apakah itu dulu atau tunggu cair semua” dan terdakwa menjawab. “Saya mau aja pak, cuman kapan kira-kira cair yang 10 M nya?” kembali Ketut bertanya.
Kemudian saksi Andianto Nahak T Moruk menjawab lagi. “10 M sudah sampaikan ke legal tapi semua masih dikendali pak Budi, saya juga tidak enak dengan bapak, kalau bapak mau ambil 100 juta dulu boleh, tapi kalau mau tunggu yang 10 M silahkan, saya serba salah”.
Dan selang beberapa menit yang tertera dalam waktunya, kembali menjawab. “Nggih pak Andi, besok sore bisa kita ketemu,” Pertemuan kemudian digelar pada Kamis 2 Mei 2024 sekira pukul 15.15 Wita.
Terdakwa menemui saksi Andianto Nahak T Moruk di Caffe Casa Bunga / Casa Eatery di Renon, dimana pada saat itu saksi Andianto Nahak T Moruk sudah membawa uang Rp100 Juta yang dimasukkan dalam tas kain warna kuning.
Saksi menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa, dan menerima tas berisi uang tersebut dan menaruhnya di kursi sebelah kiri terdakwa. Saat itu terdakwa tetap menanyakan kepada Andianto Nahak T Moruk. “Terus yang 10 M nya kapan” dan saksi Andianto Nahak T Moruk menjawab “Nanti, sabar, saya harus koordinasi lagi," jelasnya.
Tidak berselang lama setelah itu Ketut digerebek oleh petugas Kejaksaan Tinggi Bali.
Kasus ini bermula dari perusahaan yang akan mendirikan apartemen dan resort di kawasan Brawa Badung Bali. Saat itu terdakwa selaku bendesa adat kemudian meminta uang Rp10 miliar sebagai syarat agar perizinan di daerahnya berjalan lancar.
Dari Rp10 miliar yang diminta, pihak perusahaan sudah memberikan Rp50 juta, lalu Rp100 juta, total Rp150 juta. Untuk diketahui selama dirinya menjabat bendesa di Berawa selama ini juga mendapatkan gaji dari Pemprov Bali dan Pemkab Badung.
Besaran gaji yang diterima setiap bulan berbeda-beda dari Pemprov dan Pemkab Badung. Bahwa atas jabatan dan pelaksanaan tugasnya tersebut Terdakwa memperoleh gaji atau upah atau imbalan yang bersumber dari : Keuangan Daerah Provinsi Bali berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 34 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 2 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua .
Peraturan Gubernur Bali Nomor 34 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali, yang pada tahun 2023 dan 2024 sebesar Rp. 2.500.000.- per bulan" demikian bunyi dakwaan.
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun penjara.[rl/4]
FOLLOW THE BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram