Balikini.net - Tidak banyak masyarakat yang mengenal wilayah “Gigir Manuk”, namun dalam beberapa sumber literatur tua wilayah ini banyak disebut sebagai wilayah awal pembentukan peradaban Pulau Bali. Gigir Manuk adalah wilayah yang berada di titik paling utara dari pulau Bali. Dan jika melihat pada bentuk pulau bali yang menyerupai ayam (manuk), wilayah tersebut tepat berada di punggung (gigir/geger) dari Pulau Bali. Letak wilayahnya yang berada di punggung Pulau Bali ini yang menjadi cikal-bakal penyebutan Gigir Manuk. Wilayah Gigir Manuk tersebut, sesuai dengan komposisi peninggalan arkeologisnya meliputi Desa Bungkulan, Kubutambahan, Sangsit dan sekitarnya yang dulunya merupakan satu wilayah besar yang saling terkait dengan Desa Bungkulan sebagai titik pusatnya. Terdapat puluhan situs arkeologis yang merupakan peninggalan era awal nusantara di wilayah tersebut yang membentuk komposisi sebuah pusat pemerintahan di masa lalu. Situs arkeologis tersebut berupa jajaran Pura Kuno yang menyimpan data berupa pola perlambang tentang sejarah nusantara di masa lalu. Meskipun sebagian dari Pura Kuno tersebut sudah mengalami pemugaran sehingga menghilangkan sebagian data perlambangnya, namun masih bisa ditelusuri sejarahnya dari data perlambang yang disisakan.
Diantara peninggalan arkeologis penting diantaranya adalah: Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan, Pura Kawitan Dalem Alit, Pura Dalem Purwa, Pura Dalem Puri, Pura Kentel Gumi, Pura Dalem Balingkang, Pura Agung, Pura Negara Penyucian, Pura Pasek, Pura Sari Besikan, Pura Segara yang semuanya berada di wilayah Desa Bungkulan, Buleleng. Di wilayah Kubutambahan terdapat Pura Meduwe Karang dan Pura Patih serta Pura Beji yang berada di wilayah Sangsit. Masih banyak situs lain yang berada di wilayah Gigir Manuk tersebut, yang akan disajikan pada kesempatan yang lain.
Menurut Iwan Pranajaya, titik pusat dari seluruh jajaran peninggalan arkeologis tersebut adalah dua Pura Kawitan yang berdiri berdampingan, yakni Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang merupakan Pura Kawitan Raja-Raja Nusantara serta Pura Kawitan Dalem Alit yang merupakan Pura Kawitan dari Raja-Raja Trah Sunda.
Di Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan tersimpan data perlambang yang memuat jatidiri tokoh-tokoh besar nusantara seperti Sri Jayapangus, Sri Udayana, Gajah Mada, Kebo Iwa, Singamendawa, Anak Wungsu, Dalem Waturenggong dan tokoh-tokoh besar lainnya. Pura tersebut juga menyimpan puluhan stempel penting nusantara, diantaranya Stempel Surya Majapahit, Stempel Raja Udayana, Stempel Kebo Iwa, dan lainnya. Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan juga terkait erat dengan keberadaan situs Candi Tebing Gunung Kawi di Tampak Siring, Gianyar, Bali. Sementara di Pura Kawitan Dalem Alit menyimpan data perlambang terkait dengan keberadaan Prabu Siliwangi, serta data-data perlambang terkait dengan Trah Sunda.
Kedua Pura Kawitan yang menjadi central tersebut didampingi dengan keberadaan Pura Dalem Purwa yang merupakan Pedharman dari Raja-Raja Nusantara, juga keberadaan Pura Dalem Puri, Pura Kentel Gumi, dan Pura Negara Penyucian yang merupakan indikasi adanya sebuah Pusat Pemerintahan Besar di Wilayah tersebut, serta Pura kuno lainnya yang data perlambangnya saling berhubungan satu sama lain termasuk keberadaan Pura Dalem Balingkang yang jarang diketahui oleh masyarakat Bali.
Terdapat juga dua Pura Kuno yang bersifat monumental di area Kubutambahan, yakni Pura Meduwe Karang yang merupakan simbol dari keberadaan penguasa tertinggi di wilayah Gigir Manuk, Pura Patih yang merupakan simbol dari adanya konsep Mahapatih (Maharaja yang mengambil posisi mendampingi Raja-Raja di seluruh wilayah), serta Pura Beji Sangsit yang banyak memuat data tokoh-tokoh besar tersebut. Ketiga Pura Kuno tersebut sesuai data perlambangnya, merupakan data penguat dari Pemerintahan Besar yang berpusat di Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan.
Menurut hasil penelitian Iwan Pranajaya dan Tim Surya Majapahit, wilayah Bungkulan dan sekitarnya (Gigir Manuk) memang merupakan sebuah Pusat Pemerintahan Besar pada masanya. Dan berdasarkan data perlambang yang tertera pada jajaran Pura Kuno tersebut, wilayah tersebut memang merupakan Pusat Pemerintahan nusantara dari era Mataram Kuno hingga Majapahit. “Fakta ini memang mengejutkan namun karena bukti-bukti yang ada sangat valid dan ilmiah, perlahan baik masyarakat umum maupun kalangan akademisi sejarah dan arkeologi mulai bisa melihat kebenaran dan menerima hasil penelitian kami. Konsultasi dengan pihak terkait memang kami lakukan secara intens seperti dengan Universitas Udayana, ahli-ahli sejarah, budaya dan arkeologi, termasuk dengan PHDI dan masyarakat umum” ungkap Iwan Pranajaya pada salah satu kesempatan. Hasil kajian Iwan Pranajaya dan Tim Surya Majapahit memang memberi dampak yang sangat positif, dimana masyarakat yang telah teredukasi tentang adanya data sejarah berupa pola perlambang di Pura Kuno yang tersebar di seluruh Bali menjadi aktif berpartisipasi dalam upaya-upaya pelestarian Pura Kuno di Bali. Proses pemugaran pura-pun kini terlihat lebih selektif dan berhati-hati, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa adanya arus politik yang memanfaatkan dana bansos seringkali menjadi penyebab rusak dan hilangnya data perlambang karena dana bansos cenderung diarahkan untuk pemugaran Pura tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak Balai Cagar Budaya maupun pihak-pihak terkait yang paham proses renovasi Pura yang benar. (ctr/jro/r7)
Diantara peninggalan arkeologis penting diantaranya adalah: Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan, Pura Kawitan Dalem Alit, Pura Dalem Purwa, Pura Dalem Puri, Pura Kentel Gumi, Pura Dalem Balingkang, Pura Agung, Pura Negara Penyucian, Pura Pasek, Pura Sari Besikan, Pura Segara yang semuanya berada di wilayah Desa Bungkulan, Buleleng. Di wilayah Kubutambahan terdapat Pura Meduwe Karang dan Pura Patih serta Pura Beji yang berada di wilayah Sangsit. Masih banyak situs lain yang berada di wilayah Gigir Manuk tersebut, yang akan disajikan pada kesempatan yang lain.
Menurut Iwan Pranajaya, titik pusat dari seluruh jajaran peninggalan arkeologis tersebut adalah dua Pura Kawitan yang berdiri berdampingan, yakni Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang merupakan Pura Kawitan Raja-Raja Nusantara serta Pura Kawitan Dalem Alit yang merupakan Pura Kawitan dari Raja-Raja Trah Sunda.
Di Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan tersimpan data perlambang yang memuat jatidiri tokoh-tokoh besar nusantara seperti Sri Jayapangus, Sri Udayana, Gajah Mada, Kebo Iwa, Singamendawa, Anak Wungsu, Dalem Waturenggong dan tokoh-tokoh besar lainnya. Pura tersebut juga menyimpan puluhan stempel penting nusantara, diantaranya Stempel Surya Majapahit, Stempel Raja Udayana, Stempel Kebo Iwa, dan lainnya. Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan juga terkait erat dengan keberadaan situs Candi Tebing Gunung Kawi di Tampak Siring, Gianyar, Bali. Sementara di Pura Kawitan Dalem Alit menyimpan data perlambang terkait dengan keberadaan Prabu Siliwangi, serta data-data perlambang terkait dengan Trah Sunda.
Kedua Pura Kawitan yang menjadi central tersebut didampingi dengan keberadaan Pura Dalem Purwa yang merupakan Pedharman dari Raja-Raja Nusantara, juga keberadaan Pura Dalem Puri, Pura Kentel Gumi, dan Pura Negara Penyucian yang merupakan indikasi adanya sebuah Pusat Pemerintahan Besar di Wilayah tersebut, serta Pura kuno lainnya yang data perlambangnya saling berhubungan satu sama lain termasuk keberadaan Pura Dalem Balingkang yang jarang diketahui oleh masyarakat Bali.
Terdapat juga dua Pura Kuno yang bersifat monumental di area Kubutambahan, yakni Pura Meduwe Karang yang merupakan simbol dari keberadaan penguasa tertinggi di wilayah Gigir Manuk, Pura Patih yang merupakan simbol dari adanya konsep Mahapatih (Maharaja yang mengambil posisi mendampingi Raja-Raja di seluruh wilayah), serta Pura Beji Sangsit yang banyak memuat data tokoh-tokoh besar tersebut. Ketiga Pura Kuno tersebut sesuai data perlambangnya, merupakan data penguat dari Pemerintahan Besar yang berpusat di Pura Kawitan Dalem Ketut Kresna Kepakisan.
Menurut hasil penelitian Iwan Pranajaya dan Tim Surya Majapahit, wilayah Bungkulan dan sekitarnya (Gigir Manuk) memang merupakan sebuah Pusat Pemerintahan Besar pada masanya. Dan berdasarkan data perlambang yang tertera pada jajaran Pura Kuno tersebut, wilayah tersebut memang merupakan Pusat Pemerintahan nusantara dari era Mataram Kuno hingga Majapahit. “Fakta ini memang mengejutkan namun karena bukti-bukti yang ada sangat valid dan ilmiah, perlahan baik masyarakat umum maupun kalangan akademisi sejarah dan arkeologi mulai bisa melihat kebenaran dan menerima hasil penelitian kami. Konsultasi dengan pihak terkait memang kami lakukan secara intens seperti dengan Universitas Udayana, ahli-ahli sejarah, budaya dan arkeologi, termasuk dengan PHDI dan masyarakat umum” ungkap Iwan Pranajaya pada salah satu kesempatan. Hasil kajian Iwan Pranajaya dan Tim Surya Majapahit memang memberi dampak yang sangat positif, dimana masyarakat yang telah teredukasi tentang adanya data sejarah berupa pola perlambang di Pura Kuno yang tersebar di seluruh Bali menjadi aktif berpartisipasi dalam upaya-upaya pelestarian Pura Kuno di Bali. Proses pemugaran pura-pun kini terlihat lebih selektif dan berhati-hati, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa adanya arus politik yang memanfaatkan dana bansos seringkali menjadi penyebab rusak dan hilangnya data perlambang karena dana bansos cenderung diarahkan untuk pemugaran Pura tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak Balai Cagar Budaya maupun pihak-pihak terkait yang paham proses renovasi Pura yang benar. (ctr/jro/r7)
FOLLOW THE BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram