Jaga
Kerukunan, Masyarakat Bali Perlu Revitalisasi Konsep Menyama Braya
Balikini.Net - Direktur Tri Sakti Institut Dr.
I Gusti Ngurah Alit Susanta Wirya,
SP. M.Agr menyerukan kepada masyarakat Bali untuk merevitalisasi atau
menghidupkan kembali semangat menyama braya. Konsep menyama braya selama ini
terbukti mampu menjaga dan menciptakan kehidupan yang rukun di Bali. Menyama
braya telah menjadi sebuah kearifan lokal yang menjadi landasan moral dalam
membangun relasi sosial bagi masyarakat Bali. “ini menjadi sebuah kekayaan
sosial masyarakat Bali untuk menjaga keharmonisan, karena meletakkan pandangan
bahwa semua orang adalah saudara dan keluarga, walau berbeda agama, ras atau
suku” papar Alit
Susanta Wirya saat ditemui di Denpasar, Kamis, (4/5/2017).
Menurut Alit Susanta, semangat
dari konsep menyama beraya harus dihidupkan kembali dan harus mampu di
implementasikan kembali dalam kehidupan bermasyarakat. Menyama braya menjadi
konsep yang sangat universal karena memiliki makna plural dengan menghargai
perbedaan dan menempatkan orang lain sebagai keluarga. “jika ini mampu dipahami
secara baik, tidak ada konflik yang akan berujung pada perpecahan” tegas Alit
Susanta yang juga seorang akademisi dari Universitas Udayana.
Alit Susanta menyampaikan
pengejawantahan dari konsep menyama braya selama ini terkesan luntur dengan
mulai timbulnya bentrok antar pemuda dan kelompok ormas. Sebagai langkah
antisipasi maka perlu melakukan revitalisasi terhadap semangat dari konsep
menyama braya. Semangat menyama braya mengingatkan bahwa hidup perlu
bermasyarakat dan bersosialisasi, sehingga terdapat kesadaran untuk selalu
menjaga hubungan baik dengan orang lain.
Seorang
pekerja pariwisata Jeffrey Wibisono mengaku sangat
bersyukur selama 23 tahun tinggal di Bali dan marasakan semangat menyama braya
masyarakat Bali. Walau berbeda agama dan bukan orang Bali, Jeffrey mengaku
tidak pernah dianggap orang asing. Apalagi bagi masyarakat Bali hidup
bersosialisasi merupakan hal penting dalam bermasyarakat. “Kekerabatan
masyarakat Bali sangat terasa dan tidak ada di daerah lain seperti ini” ungkap Jeffrey Wibisono.
Jeffrey Wibisono mengakui bahwa
masyarakat Bali sangat menjaga semangat menyama braya, terbukti ketika pertama
kali tinggal di Bali dan kost di rumah orang Bali justru merasa seperti menjadi
anak dari pemilik kost. Masyarakat Bali
memiliki personality yang hangat
sehingga setiap pendatang merasa sebagai kerabat.”Jadi
turis saja datang tanpa rasa was-was dan kekerabatan itu yang membuat mereka
datang berulang ulang” ujar Jeffrey Wibisono.
Bagi
Jeffrey, hal yang paling berkesan adalah ketika merasakan Nyepi pertama di
Bali. Nyepi bersama satu keluarga yang seluruh anggota keluarganya beragama
Hindu. “saya bisa berbaur dan malah mendapat pengetahuan tentang Nyepi dari
keluarga tersebut” kenang Jeffrey.
Jeffrey
berharap semangat menyama braya tetap mampu dipertahankan oleh masyarakat Bali
secara terus menerus. Semangat menyama braya menjadi ciri masyarakat Bali
menjaga keseimbangan alam, salah satunya menjaga hubungan antar manusia.
Menjaga kekerabatan dengan saling menghargai sehingga terwujud kerukunan dalam
bermasyarakat.
Budayawan
Bali Made Nurbawa menyampaikan bahwa konsep menyama braya yang dilaksanakan
oleh masyarakat Bali pada intinya adalah memanusiakan manusia. Hal ini sejalan
dengan konsep “Tat Twam Asi” (aku adalah kamu) yang memiliki makna bahwa pada
hakekatnya manusia adalah satu. “Artinya tatanan budaya Bali sangat menghargai
kesamaan derajat manusia sebagai mahluk ciptaan tuhan” tegas Nurbawa.
Nurbawa
menjelaskan bahwa konsep menyama braya merupakan implementasi dari nilai-nilai
Pancasila. Dalam pandangan masyarakat Bali setara dengan Panca Sradha yang
berarti lima keyakinan yang
dimiliki oleh umat Hindu di Bali. Kelima keyakinan tersebut meliputi percaya
terhadap adanya Brahman (Tuhan),
percaya terhadap adanya Atman
(kehidupan), percaya terhadap adanya hukum Karmaphala
(hukum sebab-akibat), percaya terhadap adanya Punarbhawa (kelahiran kembali) dan percaya terhadap adanya Moksa (kebebasan dari ikatan duniawi).
Dalam
perkembanganya semangat menyama braya mengalami penurunan dengan semakin
berkembangnya sektor pariwisata di Bali. Dampaknya sebagian besar masyarakat
Bali yang bekerja di sektor pariwisata memiliki waktu yang terbatas untuk
bermasyarakat. Kondisi yang hampir sama juga dialami masyarakat Bali yang
bekerja di sektor lain. “pandangan yang menyatakan waktu bermasyarakat
berkurang karena bekerja harus diluruskan, bekerja bukan hanya untuk memperoleh
pendapatan, tetapi ketika bekerja yang tujuanya membantu orang juga bagian dari
menyama braya” kata Nurbawa.
Nurbawa
memaparkan pandangan menyama braya selama ini hanya diartikan sebatas saling
membantu dalam komunitas sosial yang sempit seperti dalam satu lingkungan desa.
Sedangkan menyama braya dalam arti umum cukup luas. Menyama memiliki makna
memandang setiap orang sebagai saudara dan braya lebih pada pemaknaan ikatan
kebersamaan yang melahirkan keharmonisan dalam bermasyarakat.
Jalinan
kerukunan dan toleransi dalam semangat menyama braya di Bali telah ada sejak
lama. Berbagai bukti peninggalan sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Bali
mampu hidup rukun walaupun terdapat perbedaan agama. Sebagai contoh adanya Pelinggih (bangunan) Ratu Dalem Mekah
di Pura Gambur Anglayang Desa Kubu Tambahan, Buleleng dan adanya bangunan
Klenteng di Pura Ulun Danu Batur Bangli. (Muliarta/balikini).
FOLLOW THE BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram