-->

Jumat, 04 November 2016

KONTRIBUSI MITOS RATU KIDUL DALAM SUSASTRA HINDU

KONTRIBUSI MITOS RATU KIDUL DALAM SUSASTRA HINDU

Balikini.Net - Sebagian masyarakat Jawa, Bali atau yang tinggal di kawasan pesisir, pada umumnya memiliki kepercayaan bahwasanya lautan dianggap memiliki kekuatan dan ada penghuni yang mendiami di dalamnya.      "Makanya mitos yang selama ini selalu bertahan adalah keberadaan Ratu Kidul atau Ratu Laut Selatan. Kepercayaan masyarakat tidak pernah luntur terhadap penguasa lautan tersebut," ujar doktor lingustik AA Kade Sri Yudari, salah seorang narasumber dalam Sarasehan Srawung Seni Sastra Hindu di Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, baru-baru ini.
     
Pada masyarakat Bali, lanjut Kade Sri, Ratu Kidul memiliki dua versi. Yakni pertama versi Kejawen dengan sebutan Kanjeng Ratu Kidul. Kedua versi lain yang dipercayai komunitas tertentu di Bali, menyebutkan Ratu Kidul merupakan istilah yang merujuk dewa-dewi pelindung dan penjaga sumber mata air, terutama mata air dan segala isinya.
     
Penyebutan Ratu Kidul di Bali mencakup: Dewa Waruna, Dewi Danu, Dewi Gangga, Ratu Niyang Sakti, Ratu Biyang Sakti, Ratu Ayu Mas Manik Tirta, Ratu Gede Sekaring Jagat, Ratu Ayu Mas Kentel Gumi, hingga Ratu Ayu Manik Macorong Dane Gusti Blembong. Bahkan, Ratu Gede Dalem Ped pun diistilahkan sebagai Ratu Kidul.
     
Menurut dia, beberapa artefak yang menandai kepercayaan masyarakat terhadap Ratu Kidul, antara lain dapat dijumpai hutan Segara Rupek, pesisir Gilimanuk, Pantai Pengambengan, pesisir Pantai Rambut Siwi, Pura Segara Watu Klotok, Pura Dalem Ped dan sejumlah tempat suci yang terletak di pesisir pantai.
     
Bahkan, tidak hanya artefak yang berwujud benda, di beberapa daerah pun lazim dijumpai ritual-ritual sebagai permohonan keselamatan yang dilakukan masyarakat kepada penguasa lautan. Seperti, Upacara Labuhan, Ritual Petik Laut, Larung Laut dan lainnya.
     
Masyarakat Bali pun biasa melangsungkan ritual agama Hindu yang berhubungan dengan laut. Misalnya, melasti, melukat, nyegara-gunung, nganyud, ngangkid, Nyepi Segara, dan sebagainya, yang merupakan wujud kearifan lokal dan sudah berlangsung secara turun temurun.
           
            
Memayu Hayuning Bawana

     
Menyinggung soal kontribusi mitos Ratu Kidul dalam Susastra Hindu, Kade Sri menyatakan, jika dalam cerita rakyat itu terdapat tuturan yang di dalamnya memiliki pesan. Di mana pesan ini mengandung nilai kehidupan untuk merubah sikap dan perilaku manusia.      "Mitos itu berakulturasi dengan kepercayaan Kejawen maupun ajaran sastra yang sudah ada sebelumnya di Bali. Akulturasinya berbentuk kearifan lokal, yang berfungsi dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat umum dan komunitas masyarakat pendukungnya," kata Kade Sri yang disertasinya mengangkat judul Persepsi Masyarakat terhadap Mitos Ratu Kidul di Pesisir Bali Selatan.
     
Mitos ini, ujar dia, dapat diterima karena memiliki kemiripan sudut pandang tentang ajaran keseimbangan alam semesta. Terutama tentang pengkeramatan dan perlindungan terhadap laut. Di mana, ajaran ini dalam susastra Hindu dikenal dengan Tri Hita Karana, yang mengajarkan untuk menjaga keharmonisan dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta.
     
Sementara itu, ajaran Kejawen pun memiliki konsepsi hidup yang serupa, yang dinamakan 'memayu hayuning bawana', sebagai 'space culture' tempat manusia hidup dalam realitas dan 'spiritual culture' yang merupakan ekspresi budaya batin. 
     
Dia menyatakan, dengan demikian sebagai kesimpulan kontribusi mitos Ratu Kidul terhadap susastra Hindu, dapat dipahami dari fungsi dan kebermanfaatannya pada komunitas masyarakat pendukung. Fungsi dan manfaat dapat dilihat dari cara pengkeramatan laut dengan melaksanakan berbagai jenis ritual secara turun temurun sesuai ajaran yang diwariskan leluhur.
     
Pesan yang dominan bagi masyarakat pendukung adalah laut dan pesisir saat ini sedang mengalami krisis dan dalam kondisi kritis, sehingga harus dilindungi. "Salah satu penyebabnya adalah cara pengelolaan laut yang keliru, sehingga sering terjadi abrasi, terutama di pesisir Bali Selatan," ucap Kade Sri mengakhiri pemaparan pada kegiatan sarasehan itu.
     
Kegiatan sarasehan dipandu Dr Diane Butler (Ketua Dharma Nature Time), dan menampilkan sejumlah narasumber. Selain AA Kade Sri Yudari, narasumber lain adalah Elizabeth D Inandiak, Jean Couteau dan Wayan Kun Adnyana. Kegiatan ini dibuka Rektor UNHI Denpasar Dr Ida Bagus Dharmika MA.
     Elizabeth mengulas tentang Serat Centhini, kitab kuno Jawa yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Kekuatan pada Serat Centhini adalah keindahan tembang-tembang Jawa, yang mengetengahkan adegan-adegan pewayangan pada akhir zaman Majapahit.
     "Proses menggeluti Serat Centhini menghasilkan pengalaman yang indah, saya seperti seorang murid yang ditarik oleh guru. Dan guru saya adalah Serat Centhini," ujar Elizabeth.
     Penulisan Serat Centhini dilakukan oleh tim, di bawah pimpinan
Adipati Anom Amangkunagara III pada tahun 1814-1823. Serat ini menampilkan tokoh utama Syeh Amongraga dan tokoh antagonis Tambangraras. Materi serat mengisahkan perjalanan tasawuf menuju kesempurnaan hidup.
     
Semenjak tahun 2002, Elizabeth telah menerbitkan saduran Serat Centhini dalam bahasa Perancis dengan judul "Les Chants de I ile a dormer debout - le livre de Centhini".
     Pada akhir acara, ditutup dengan perhelatan tari oleh sejumlah pengajar dari UNHI, yang berkolaborasi dengan Diane Butler. [vivi/r6]  
    




Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved