-->

Rabu, 15 Juni 2016

MENJAGA PELESTARIAN TARI LEGONG KUPU-KUPU TARUM Oleh Tri Vivi Suryani

MENJAGA PELESTARIAN TARI LEGONG KUPU-KUPU TARUM Oleh Tri Vivi Suryani


    
balikini .net / legong
    
Balikini.Net -Bagaikan kupu-kupu yang beterbangan di ruang udara dan mengepakkan sayap dengan keanggunan memikat, para penari Legong Kupu-Kupu Tarum itu bergerak anggun seirama gamelan di perhelatan ritual Panca Wali Krama di Desa Bedulu, Gianyar, Bali. Suatu ritual keagamaan yang dilangsungkan 50 tahun sekali, dan kali ini dilaksanakan pada satu siang yang bermandikan cahaya matahari di akhir bulan Mei. 
     
Legong merupakan salah satu tarian klasik Bali yang menampilkan gerakan gemulai selayaknya keanggunan kupu-kupu yang beterbangan di angkasa, dan bercengkerama dengan sesamanya. Gerakan tarian ini terbilang kompleks dan mempunyai keterikatan dengan tetabuhan pengiring. Tetabuhan ini diperkirakan terpengaruh dari kesenian Gambuh.
     
Penyebutan kata Legong, berasal dari kata 'leg' yang bermakna gerakan tarian yang lentur dan 'gong' yang berarti gamelan. Secara keseluruhan, Legong didefinisikan sebagai gerakan tarian yang terikat pada gamelan sebagai pengiringnya.
     
Merujuk pada Babad Dalem Sukawati yang mengisahkan tentang cerita tua di Desa Sukawati, Gianyar, Tari Legong konon diciptakan dengan berlatar belakang mimpi Raja Sukawati I Dewa Agung Made Karna. Suatu hari ketika sedang bersemadi di wilayah Ketewel, beliau bermimpi melihat sejumlah bidadari sedang menari dengan gerakan yang anggun mempesona, mengenakan pakaian yang molek dan memakai perhiasan emas di kepala.
      
Ketika tersadar dari mimpinya, I Dewa Agung Made Karna kemudian memerintahkan Kepala Desa Ketewel untuk menciptakan tarian yang sesuai dengan apa yang dilihatnya dalam mimpi. Penerjemahan tarian dari mimpi Raja Sukawati inilah, menjadi cikal bakal di balik terciptanya Tari Legong. 
     
Keanggunan gerakan luwes Tari Legong, membuat seniman berbagai daerah di Pulau Bali tergerak untuk mengembangkannya. Hingga kini, beberapa daerah yang masih aktif mengembangkan tarian ini, antara lain, Kuta, Tista (Tabanan), Kelandis (Denpasar) dan sejumlah daerah di Gianyar seperti Saba, Pejeng, Peliatan dan Bedulu masih tergerak untuk melestarikannya. 

   
                 Revitalisasi Legong

     
Sebelumnya pada awal bulan Januari lalu, sejumlah tokoh seni Ni Ketut Arini (pendiri Sanggar Warini, Denpasar), Dr AA Ayu Bulantrisna Djelantik (pendiri Bengkel Tari AyuBulan Jakarta, Bandung, Bali), dan Dr Diane Butler (Ketua Dharma Nature Time), bertemu dengan ketua Paruman Pura Samuan Tiga Desa Bedulu Drs I Wayan Patera.
     
Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan pembicaraan agar penari di Desa Bedulu mulai anak-anak sampai dewasa, hendaknya berkumpul dan berlatih Tari Legong Kupu-Kupu Tarum. Tujuan kegiatan pelatihan ini ialah untuk 'ngayah' tari-tarian ini pada Karya Panca Wali Krama Samuan Tiga.
     
Ketut Arini yang baru saja mendapat Penghargaan Kebudayaan dari Kemdikbud dalam kategori Pelestarian, akhirnya terinspirasi untuk ngayah Tari Baris. Sementara Bulantrisna juga menghaturkan ngayah karya Legong bersama-sama dengan penari Nusantara pada saat piodalan.
     "Ada 16 penari dari berbagai provinsi Indonesia ngayah adaptasi baru Tari Legong Kupu-Kupu Tarum, karya Bengkel Tari AyuBulan, Jakarta. Dan empat penari perempuan muda dari Denpasar ngayah Tari Baris Kekupu, yang direvitalisasikan oleh Sanggar Warini," ujar Diane Butler.
     
Diana Butler melanjutkan, 50 penari muda Bedulu ngayah adegan dari Tari Legong Kupu-Kupu Tarum Bedulu bersama maestro penari Ni Ketut Arini dan Ida Ayu Made Diastini, serta sejumlah guru tari dari Bedulu.  Masing-masing adalah Gusti Ayu Widiani, Putut Astiti, dan Shinta Dewi
     "Pendukung lain revitalisasi Legong Kupu-Kupu Tarum Bedulu ialah  guru tabuh Gusti Ngurah Arya Astana dan pemerhati seni Bedulu sekaligus fotografer Kadek Raharja," ujar wanita yang kini menetap di Bedulu ini.
     
Revitalisasi adalah suatu proses untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali sesuatu hal yang sebelumnya belum terberdaya. Seperti yang dilakukan sejumlah pegiat seni yang merevitalisasi Tari Legong Kupu-Kupu Tarum, yang diharapkan tetap bisa lestari dari generasi ke generasi berikutnya.
     Dan, penampilan revitalisasi Legong Kupu-Kupu Tarum pada Panca Wali Krama di Desa Bedulu beberapa waktu sebelumnya, sesungguhnya adalah persembahan karya seni yang begitu adiluhung. Wujud pelestarian budaya yang menampilkan gerak yang menyiratkan filosofi siklus kehidupan kupu-kupu: hidupnya singkat, namun sarat makna.


            Penari Nusantara

     
Penampilan tari Legong Kupu-Kupu Tarum di Bedulu yang bertepatan ritual Panca Wali Krama, berlangsung apik dan luwes dengan melibatkan anak-anak dan sejumlah wanita. Kegiatan ini telah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya.
     "Anak-anak berlatih sejak tiga bulan sebelumnya. Kalau wanita yang berusia remaja atau dewasa, tidak membutuhkan waktu lama persiapan, karena sudah mengusai tarian Legong Kupu-Kupu Tarum ini," ujar maestro tari Legong Ayu Bulantrisna.
     
Ayu Bulan menyatakan, belakangan ini tari Legong agak menurun perkembangannya, terkait kian sedikit peminat yang menekuninya. Penurunan minat ini dikarenakan kesempatan untuk mementaskan tarian ini terbilang sempit.
     "Jika ingin tampil di hotel, kesempatannya terbatas karena harus bersaing dengan jenis tarian lainnya. Selain itu, ada grup-grup tari yang sengaja banting harga murah. Keadaan ini membuat seniman lain  menjadi kurang dihargai kemampuannya, karena ketika tampil berpentas malah dibayar dengan minim," kata Ayu Bulan menyesalkan.
     
Sebagai solusi, lanjut dia, hendaknya setiap kabupaten memberikan ruang yang luas bagi seniman untuk mempertunjukkan diri. Misalnya, melalui pagelaran even kesenian semacam Pesta Kesenian Bali, yang berlangsung setahun sekali.
     
Jika tidak ada upaya revitalisasi, maka berbagai jenis tari akan redup dan tidak diminati pengembangannya. Sementara itu, tari Legong Kupu-Kupu Tarum di Bedulu, belakangan intens mulai diajarkan kepada anak-anak setempat.
     "Penampilan tari Legong saat acara Panca Wali Krama, tidak hanya melibatkan anak-anak Bedulu. Penari dari berbagai daerah di Nusantara, seperti Ternate, Sunda, Betawi dan lainnya, yang menjadi pencinta tari Legong, ikut perpartisipasi ngayah di kegiatan Panca Wali Krama di Bedulu," kata Ayu Trisna, yang baru saja menerbitkan buku tentang Legong. 
     
Makin berkembangnya pencinta Legong di Tanah Air jelas perkembangan yang menggembirakan, sehingga tarian ini tetap terjaga eksistensinya. Agar filosofi kehidupan singkat namun sarat arti dari satwa kupu-kupu yang terkandung dalam tarian ini, terwariskan pada generasi mendatang. 









Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2021 BALIKINI.NET | BERIMBANG, OBYEKTIF, BERBUDAYA | All Right Reserved